ALIRAN
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH, QADARIYAH DAN JABARIYAH
Makalah Ini
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Teologi
Islam
Dosen
Pembimbing :
Drs. H.
Bahruddin Al Barri, M.HI
Oleh:
Muhammad
Rizqi Saputra
Muhammad
Yunus
Elok
Miftah Candra
Alif
Zakiyatul Fikriyah
UNIVERSITAS
HASYIM ASY’ARI
TEBUIRENG JOMBANG
2013
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang
telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan
kesehatan sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah mata kuliah TEOLOGI
ISLAM.
Kemudian shalawat beserta salam kita
sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad shollallohu’alaihi wa sallam yang
telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan Sunnah untuk keselamatan
umat di dunia.
Makalah ini
merupakan salah satu tugas mata kuliah Teologi Islam pada Universitas Hasyim
Asy’ari. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Bapak Drs. H. Bahruddin Al Barri, M.HI selaku dosen pembimbing mata
kuliah Teologi Islam dan kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan
serta arahan selama penulisan makalah ini. Akhirnya penulis menyadari bahwa
banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.
Tebuireng, 27 Oktober 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL................................................................................. I
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
BAB I. PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang ......................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah .................................................................... 2
C.
Tujuan....................................................................................... 2
BAB II. PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ahlussunnah, Qadariyah, dan Jabariyah ................. 3
B.
Sejarah
Timbulnya Aliran Ahlussunnah, Qadariyah, dan Jabariyah 5
C.
Tokoh
dan Ajaran Ahlussunnah, Qadariyah, dan Jabariyah ..... 9
BAB
III. PENUTUP
A.
Kesimpulan
............................................................................ 16
B.
Saran
...................................................................................... 17
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perpecahan di dalam tubuh umat Islam adalah sesuatu yang tidak terhindarkan, tetapi yang
perlu diingat adalah orang sering kali tidak tahu sebab-sebab terjadinya
perpecahan. Di kalangan umat Islam sekarang ini terkadang terjadi perpecahan
dalam hal-hal yang sebenarnya tidak boleh terjadi. Kita sering berpendapat,
bahwa menghindari perpecahan dan membendung bahayanya sebelum hal itu terjadi
lebih baik daripada pengobatan setelah terjadi. Memang pendapat ini merupakan
ijma’ yang disepakati. Namun sebaiknya kita mengerti bahwa menjaga dari
perpecahan caranya adalah dengan jalan menghindari penyebabnya.
Perpecahan politik dan aliran pemikiran antara kaum
muslimin terjadi karena perbedaan tentang masalah khilafah. Hal ini dimulai sejak wafatnya Ali bin Abi Thalib yang telah
mengakibatkan barisan kaum muslimin terpecah menjadi 3 kelompok yakni Syiah
(orang yang sangat fanatic dengan Ali bin Abi Thalib), Khawarij (orang yang keluar
dari barisan Ali bin Abi Thalib , dan Jumhur kaum muslimin (Ahlu Sunnah wal
Jama’ah). Selain itu, persoalan tentang orang berbuat dosa kemudian yang
mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya dalam Islam.
Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam yakni Khawarij, Murji’ah,
dan Mu’tazilah.
Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran
dalam teologi yang terkenal dengan nama Al-Qadariyah dan Al-Jabariyah. Menurut
qadariyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya, dalam
istilah Inggrisnya free will dan free act. Jabariyah, sebaliknya, berpendapat
bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.
Dalam artian segala manusia bertindak dengan paksaan dari Tuhan, menurut
Jabariah.
Pembincangan mengenai perpecahan umat itu juga bermula
dari hadis Nabi Muhammad SAW tentang terjadinya perpecahan di tengah umat ini,
diantaranya adalah hadis iftiraq :
“Dari Abu Hurairah ia berkata : Rasulullah SAW telah
bersabda : Kaum Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan atau 72 golongan, dan
kaum Nasrani telah terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku akan
terpecah menjadi 73 golongan.”
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang seluk
beluk aliran Ahlussunnah wal Jama’ah, Qadariyah, dan Jabariyah.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian dari Ahlus sunnah wal
Jama’ah, Qodariayah, dan Jabariyah?
2.
Bagaimana latar
belakang dan sejarah timbulnya aliran Ahlussunnah, Qodariyah, dan Jabariyah?
3.
Bagaimana ajaran masing-masing dari
golongan Ahlu Sunnah wal jama’ah, Qadariyah, dan Jabariyah?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari Ahlussunnah wal Jama’ah, Qodariyah, dan Jabariyah.
2.
Untuk
mengetahui latar belakang dan sejarah timbulnya aliran Ahlussunnah wal Jam’ah.
3.
Untuk
mengetahui ajaran-ajaran aliran Ahlussunnah wal Jama’ah, Qadariyah, dan
Jabariyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah, Qadariyah, dan Jabariyah
1.
Pengertian Ahlussunah wal Jama’ah
a)
Secara bahasa
Ahlun :
Keluarga, golongan atau pengikut
Ahlussunnah :
orang-orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal perbuatan
Nabi Muhammad SAW)
Wal Jama’ah :
Mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam pengikut sunnah Rasul
Dengan demikian secara bahasa/aswaja
berarti orang-orang atau mayoritas para ‘Ulama atau umat Islam yang mengikuti
sunnah Rasul dan para Sahabat atau para Ulama’.
b)
Secara Istilah
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah golongan
umat Islam yang dalam bidang Tauhid menganut pemikiran Imam Abu Hasan Al
Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi, sedangkan dalam bidang ilmu fiqh menganut
Imam Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali) serta dalam bidang Tasawwuf
menganut pada Imam Al Ghazali dan Imam Junaidi al Baghdadi.
Ungkapan Ahlussunnah (sering juga disebut dengan Sunni)
dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam
pengertian umum adalah lawan kelompok Syi'ah. Dalam pengertian ini,
Mu'tazilah-sebagaimana juga Asy'ariyah- masuk dalam barisan Sunni. Sunni dalam
pengertian khusus adalah madzhab yang berada dalam barisan Asy'ariyah dan
merupakan lawan Mu'tazilah.
2.
Qadariyah
Nama Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara
yang artinya kemampuan dan kekuatan.
Adapun menurut pengertian
terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia
tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang
adalah pencipta bagi segala perbuatannya. Ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut,
dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi
penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan kaum Qadariyah
berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa
tunduk pada qadar Tuhan. Dalam istilah Inggrisnya faham ini dikenal dengan nama
free will dan free act.
Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang
berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus
maupun yang jahat. Namun, sebutan
tersebut telah melekat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. Menurut Ahmad Amin, sebutan ini
diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk Hadis yang menimbulkan kesan negatif
bagi nama Qadariyah. Hadis itu berbunyi :
القدرية مجوس هذه الأمة
Artinya : "Kaum Qadariyah adalah majusinya umat
ini."
3.
Jabariyah
Menurut Harun Nasution, Jabariyah berasal dari kata jabara yang
mengandung arti memaksa. Dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia
mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah Inggris paham
ini disebut fatalism atau predestination
yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari
semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
Al-Syahrastani menegaskan istilah al-jabru diartikan menolak adanya perbuatan
dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Berdasarkan
pengertian ini, Jabariyah ada 2 bentuk :
a.
Jabariyah
murni, menolak adanya perbuatan berasal dari manusia dan memandang manusia
tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat.
b.
Jabariyah
moderat, mengakui adanya perbuatan dari manusia namun perbuatan manusia tidak
membatasi.
Kalau
dikatakan, Allah mempunyai sifat al-Jabbar (bentuk mubalaghah) artinya Allah
Maha Memaksa. Ungkapan al-insan majbur (bentuk isim maful) artinya manusia
dipaksa atau terpaksa. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan
kehendak dan perbuatannya dalam artian manuisa mengerjakan perbuatannya dalam
keadaan terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik
menjadi jabbariyah (dengan menambah ya’ nisbah), memiliki arti suatu kelompok
atau aliran (isme).
B. Sejarah Timbulnya Aliran Ahlussunnah, Qadariyah, dan Jabariyah
1.
Ahlussunnah wal Jama’ah
Menurut Harun Nasution, term ahli Sunnah dan Jama’ah ini kelihatannya timbul sebagai reaksi
terhadap paham-paham golongan Mu’tazilah dan terhadap sikap mereka dalam
menyiarkan ajaran-ajaran itu. Mulai dari Wasil, usaha-usaha telah dijalankan
untuk menyebarkan ajaran-ajaran itu, disamping usaha-usaha yang dijalankan
dalam menentang serangan musuh-musuh Islam. Sedangkan menurut Ibn al-Murtada,
Wasil mengirim murid-muridnya ke Khurasan, Armenia, Yaman, Marokko, dan
lain-lain. (Nasution,2012: 62)
Sebagai reaksi
dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke-3 H timbullah golongan yang
dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipimpin oleh dua ulama’ besar
dalam Ushuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali Al Asy’ari dan Syeikh Abu mansur
Al Maturidi. Terkadang Ahlussunnah wal Jama’ah disebut sebagai Ahlussunnah
saja, atau Sunni saja, kadang juga disebut sebagai Asyariyah.
Di dalam faham
Ahlussunnah wal Jama’ah terlahir dua aliran yakni Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Dahulu Asy’ari adalah seorang Mu’tazilly. Namun, terdorong oleh keinginan
mempertahankan sunnah maka lahirlah ajaran mereka hingga kemudian keduanya
diberi gelar imam ahlussunnah wal jama’ah.
1.
Aliran Qadariyah
Dalam Islam, munculnya faham Qadariyah tidak dapat
diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa ahli teologi Islam yang
menghubungkan faham Qadariyah dengan kaum Khawarij. Pemahaman mereka (kaum
khawarij) tentang konsep iman pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan
kesadaran bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya
sendiri. Menurut Ahmad Amin seperti dikutip Abuddin Nata, berpendapat bahwa
faham Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al’Jauhani dan Ghailan
Ad-Dimasyqy. Sementara itu Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, member
informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang
Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama
Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak
yang dimaksud sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh
informasi dari Al-Auzai adalah Susan.
Ahli teologi
menerangkan bahwa Ma’bad Al-Juhani : seorang Tabi’i yang baik dan temannya
Ghailan Al-Dimasyqi yang mana keduanya memperoleh paham tersebut dari orang
Kristen yang masuk Islam di Irak. Beliau adalah seorang ahli hadits dan tafsir
Al-Quran, tetapi kemudian dianggap sesat dan membuat pendapat-pendapat yang
salah serta batal. Setelah itu, ia dibunuh oleh Abdul Malik bin Marwan pada
tahun 80 H. Dia juga pernah berguru pada Hasan al-Bashri.
Dalam pada itu
Ghailan sendiri terus menyiarkan faham qadariah-nya di Damaskus, tetapi
mendapat tantangan dari khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz. Setelah Umar wafat,
ia meneruskan kegiatannya yang lama, sehingga akhirnya akhirnya ia mati dihukum
bunuh oleh Hisyam ‘Abd al-Malik (724-743 M). Sebelum dijatuhi hukum bunuh
diadakan perdebatan antara Ghailan dan al-Awza’i yang dihadiri Hisyam sendiri.
Sejarah
timbulnya faham atau aliran Qadariyah ini tentu saja tidak bisa lepas dari
pembahasan tentang faham Jabariyah, sebagai realitas yang masih terus mewarnai
kehidupan manusia dalam bidang teologi, yang secara pasti sulit ditentukan
kapan faham-faham tersebut lahir. Akan tetapi pada permulaan dinasti Bani
Umayyah, setelah Islam dianut oleh berbagai bangsa, maka faham-faham Jabariyah
dan Qadariyah telah menjadi bahan pemikiran di antara mereka, dan dari situlah
mulai muncul pembicaraan mengenai aliran-aliran tersebut.
Berkaitan
dengan awal kemunculan Qadariyah, para peneliti di bidang teologi berbeda
pendapat. Karena penganut Qadariyah sangat banyak. Diantaranya di Irak dengan
bukti gerakan ini terjadi pada pengajian Hasal Al-bashri.
2.
Aliran Jabariyah
Benih pemikiran
Jabariyah sebenarnya sudah ada pada beberapa orang sahabat sejak masa Nabi SAW
masih hidup. Diceritakan bahwa pada suatu hari Nabi SAW menjumpai para
sahabatnya yang sedang membicarakan masalah qadar. Nabipun marah seraya
menyatakan : Untuk inikah kalian diperintahkan? Umat sebelum kamu binasa karena
mereka berbuat seperti kamu ini, saling mempertentangkan ayat yang satu dengan
yang lain. Perhatikan apa yang diperintahkan kepadamu, lalu kerjakanlah, dan
apa yang dilarang atas kamu jauhilah.
Nabi sendiri
sudah pernah menyatakan bahwa di antara umatnya akan ada orang-orang yang
berpaham semacam Jabariyah atau Qadariyah. Dikisahkan bahwa pada suatu hari ada
seorang laki-laki dari Persi datang kepada Nabi SAW lalu berkata : Aku lihat
orang Persi menikah dengan anak-anak perempuan dan saudara-saudara perempuan
mereka. Kalau mereka ditanya mengapa berbuat demikian? Mereka menjawab :
Demikianlah qadla dan qadar Allah. Lalu Nabi bersabda : Di antara umatku akan
ada orang-orang yang berkata demikian dan mereka itulah orang-orang Majusi dari
umatku.
Khalifah Umar
bin Khattab pernah menangkap orang yang tertangkap mencuri. Ketika
diinterogasi, pencuri itu berkata,”Tuhan telah menentukan aku mencuri.”
Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta
kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hkuman kepada pencuri
itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena
menggunakan dalil takdir Tuhan.
Khalifah Ali
bin Abi Thalib sesuai perang Shiffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar
Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya,”Bila
perjalanan (menuju perang Shiffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan,
tak ada pahala sebagai balasannya.” Ali menjelaskan bahwa qadha dan qadar itu
merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan
ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi
orang-orang yang baik.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa awal munculnya faham atau aliran
Jabariyah adalah sejak awal periode Islam. Namun al Jabar sebagai suatu pola
pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada
masa pemerintahan Daulah Bani Umayah.
Faham Jabariyah
secara nyata menjadi aliran yang disebarkan kepada orang lain pada masa
pemerintahan Bani Umayyah. Yang dianggap sebagai pendiri utama adalah Al-Ja’ad
bin Dirham.
C.
Tokoh dan Ajaran Ahlussunnah, Jabariyah dan Qadariyah
1.
Tokoh dan Ajaran Ahlussunnah
a)
Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari dan Maturidiah
Menurut
Abdul Rozak,dkk dalam bukunya yang berjudul Ilmu Kalam, membahas tentang
doktrin al-Asy’ari yang terpenting sebagai berikut :
1.
Tuhan
dan sifat-sifat-Nya
Berkaitan
dengan masalah sifat Tuhan, terdapat persamaan antara pemikiran Al-Maturidi
dengan Al-Asy’ari. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat,
seperti sama, bashar, dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian menurut keduanya
berbeda. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat,
melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-Maturidi berpendapat
bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari
esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama), dzat tanpa terpisah.
Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus ad-dzat wa la hiya ghairuhu).
Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawanya pada pengertian anthropomorphisme
karena sifat tidak berwujud sendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat
tidak akan membawa kepada berbilangnya yang qadim. Tampaknya Al-Maturidi lebih
cenderung kepada paham Mu’tazilah.
2.
Kebebasan
dalam berkehendak (Free-Will)
Ditinjau
dari dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariyah yang fatalistik dan menganut
faham radeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut faham kebebasan
mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Menurut Al-Asy’ari,
Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri
yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allahlah yang mampu menciptakan segala
sesuatu (termasuk keinginan manusia). Sedangkan menurut Maturidi
perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini
adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan
keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat
(ikhtiyar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya.
3.
Akal
dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Ada
perbedaan pendapat dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan
kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu,
sedangkan Mu’tazilah mengutamakan akal. Dalam hal ini, Maturidi
sependapat dengan Al-Asy’ari. Namun, porsi yang diberikannya kepada akal lebih
besar daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ari. Begitu juga, dalam penentuan
baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari
berpendapat bahwa baik dan buruk harus berlandaskan pada wahyu, sedangkan Maturidi
berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu
itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti
ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak
selalu mampu membedakan antara yang baik dan buruk. Namun, terkadang pula mampu
mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu
diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.
4.
Qadimnya
Alquran
Dalam
hal ini, Mu’tazilah berpendapat bahwa Alquran diciptakan (makhluk) sehingga
tidak qadim serta pandangan madzhab Hanbali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa
Alquran adalah kalam Allah, (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan
berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Alquran adalah qadim. Dalam
rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, A-Asy’ari
mengatakan bahwa walaupun Alquran terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi,
semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.
5.
Melihat
Allah
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat
digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang
menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan
manusia untuk melihat-Nya. Sedangkan Al-Maturidi mengatakan bahwa
manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh Alquran, antara lain
firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23. Bahkan Al-Maturidi
mengatakan bahwa kelak Tuhan dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai
wujud walaupun Ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam
bentuknya, karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
6.
Keadilan
Allah
tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak.
7.
Kedudukan
orang berdosa
Al-Asy’ari
mengatakan bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab
iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr. Sedangkan Al-Maturidi
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam
neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah
menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat syirik.
2.
Tokoh dan Ajaran Qadariyah
a)
Ajaran Ma’bad al-Juhani
Perbuatan
manusia diciptakan atas kehendaknya sendiri. Oleh karena itu ia bertanggung
jawab atas segala perbuatannya. Tuhan tidak ikut berperan serta dalam perbuatan
manusia, bahkan Tuhan tidak tahu sebelumnya apa yang akan dilakukan oleh
manusia, kecuali setelah perbuatan itu dilakukan, barulah Tuhan mengetahuinya.
b)
Ajaran Ghailan al-Dimasqi
1.
Manusia
menentukan perbuatannya dengan kemauannya dan mampu berbuat baik dan buruk
tanpa campur tangan Tuhan. Iman adalah mengetahui dan mengakui Allah dan
Rasul-Nya sedangkan amal perbuatan tidak mempengaruhi iman.
2.
Al-Qur’an
itu makhluk.
3.
Allah
tidak memiliki sifat.
4.
Iman
adalah hak semua orang bukan dominasi Quraisy, asal cakap berpegang teguh pada
al-Qur’an dan al-Sunnah.
Pokok-pokok ajaran
Qadariyah menurut Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam adalah :
1.
Orang
yang berbuat dosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin, tapi fasiq dan masuk
neraka.
2.
Allah
SWT tidak menciptakan amal perbuatan manusia. Manusia sendirilah dan jika
amalna jelek akan masuk neraka. Oleh karena itu, maka Allah berhak disebut
adil.
3.
Akal
manusia mampu mengetahui mana yang baik dan yang buruk, walaupun Allah tidak
menurunkan agama. Sebab segala sesuatu ada memiliki sifat yang menyebabkannya
baik atau buruk.
3.
Tokoh dan Ajaran Jabariyah
Setelah
mengulas tentang sejarah timbulnya faham Jabariyah di atas, seyogyanya kita
harus mengetahui dan mengenal para tokoh dan ajaran-ajaran yang diyakini dalam
faham ini. Dibawah ini adalah beberapa pendapat dan ajaran tokoh Jabariyah
murni.
a)
Jahmn bin Safwan dan Ja’ad bin Dirham
Nama lengkapnya
adalah Abu Mahrus Jahm bin Safwan. Ia sebagai penganut paham Jabariyah murni
berhasil menyebarkan ajarannya ke Tirmidzi di Balk. Sedangkan Ja’ad bin Dirham
adalah seorang maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Doktrin Ja’ad secara
umum sama dengan pendapat Jahm. Berikut ini beberapa pendapatnya:
1.
Sifat dan Dzat Allah
Allah adalah Dzat saja karena bukan
syai’ (sesuatu), maka Allah tidak akan memiliki sifat yang dimiliki oleh
manusia misalnya ‘alim, murid, maujud, hayyun, namun boleh disifati qadir,
fa’il, khaliq, mujid, muhyi, mumit. Tujuannya disini adalah menjauhkan Tuhan
dari segala penyerupaan dengan makhluknya.
2.
Melihat Allah
Jahmn menolak pendapat bahwa Allah
kelak di hari Kiamat Allah dapat dilihat, karena Allah tidak mempunyai sifat maujud.
Dan sesuatu yang tidak maujud itu tidak dapat dilihat. Berbeda dengan pendapat
Ahli Sunnah wal Jama’ah yaitu kelak di hari kiamat Allah dapat dilihat,
sebagaimana Al-Qur’an surat Qiyamah ayat 22-23 :
وجوه يومئذ ناضرة .
إلى ربّها ناظرة.
“Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.
Menurut
Adh-Dhirar (tokoh paham Jabariyah moderat), Tuhan dapat dilihat di akhirat
melalui indra keenam. Sedangkan menurut An-Najjar (penganuh Jabariyah moderat),
Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, Tuhan dapat saja memindahkan
potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia bisa melihat Tuhan.
3.
Kehendak dan kemerdekaan manusia
Paham Jabariyah mengatakan bahwa
manusia tidak mempunyai kehendak ataupun kemerdekaan,
semua perbuatan yang dilakukannya terpaksa. Keterpaksaan dikategorikan dalam 2
macam :
a.
Manusia
tidak memiliki kehendak, pilihan, dan kemampuan sama sekali.
b.
Manusia
masih memiliki andil dalam pekerjaan yang ia lakukan, sehingga ia tidak
terpaksa sepenuhnya.
Sedangkan Jaham menganut paham yang pertama :
هو مجبور فى أفعاله, لا قدرة له, ولاارادة, ولا
اختيار
4.
Kehancuran surga dan neraka
Menurut Jahm
manusia akan kekal, baik di dalam surga maupun neraka. Penghuni surga menikmati
kelezatan surga dan penghuni neraka merasakan kepedihan siksa.
5.
Iman
Menurut pendapat jumhur ulama’,
ketetapan hati yang diucapkan dengan lisan. Dengan demikian, ucapan lisan menjadi
syarat seorang menjadi muslim atau kafir. Berbeda dengan pendapat Jahm bahwa
orang tidak menjadi kafir hanya karena mengutarakan dengan lisan asalkan sudah
ma’rifat.
6.
Akal sebagai ukuran baik dan buruk
Akal manusia mampu membedakan antara
yang baik dan buruk, meskipun tidak ada wahyu, boleh jadi pendapat ini kemudian
diambli oleh pendapat Mu’tazilah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan yang telah disajikan oleh penulis di atas, dapat disimpulkan bahwa
golongan Ahlussunnah wal Jama’ah atau terkadang dikenal dengan istilah Sunni
adalah golongan mayoritas umat Islam yang berpegang pada Sunnah Nabi Muhammad
SAW. Aliran atau faham ini dipelopori oleh Abu Hasan Al-Asy’ari dan Syeikh Abu
Mansur Al-Maturidi yang kemudian fahamnya disebut Asy’ariyah dan Maturidiah.
Faham ini muncul pada akhir abad ke-3 H sebagai reaksi terhadap paham-paham
Mu’tazilah. Salah satu doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu tentang kebebasan
dalam berkehendak. Menurut Al-Asy’ari, Allah adalah pencipta (khaliq)
perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib).
Hanya Allahlah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan
manusia). Sedangkan menurut Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan
Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai
perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan
manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiyar) agar kewajiban yang dibebankan
kepadanya dapat dilaksanakannya.
1.
Adapun
golongan Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia
tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang
adalah pencipta bagi segala perbuatannya. Ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut,
dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi
penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Golongan ini dipelopori oleh Ma’bad Al Juhani dan
Ghailan Al Dimasqi. Salah satu doktrin faham Qadariyah yaitu orang yang berbuat dosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin,
tapi fasiq dan masuk neraka.
Sedangkan golongan Jabariyah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa segala perbuatan manusia berasal dari Allah. Faham ini
berpendapat bahwa manusia hanya menjadi wayang yang digerakkan oleh dalangnya. Awal munculnya faham atau aliran Jabariyah adalah sejak awal
periode Islam. Namun al Jabar sebagai suatu pola pikir atau aliran yang dianut,
dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani
Umayah. Dan salah satu doktrin faham ini adalah manusia tidak memiliki
kehendak, pilihan, dan kemampuan sendiri.
B.
Saran
Makalah ini
diharapkan dapat memberi sumbangan dalam rangka memperluas wawasan mengenai
firqah-firqah dalam Islam khususnya golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, Qadariyah
dan Jabariyah. Semoga dengan adanya makalah ini, pembaca dapat memahami hakikat
ketiga golongan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
El-fatihkamil.
2012. (http://elfatihkamil.blogspot.com/2012/06/hadis-terpecahnya-umat-islam-menjadi-73.html diakses pada tanggal 17 Oktober 2013 pada
pukul 10.07 WIB).
Sejarah Ahlussunnah Wal Jama’ah (http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/10/sejarah-ahlussunnah-wal-jamaah.html diakses pada tanggal 18 Oktober 2013)
Nasution, Harun. 2012. TEOLOGI
ISLAM. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. 2012. ILMU KALAM. Surabaya : IAIN Sunan Ampel
Press.
Rozak, A., Anwar, R. 2000. Ilmu KALAM :untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar