Sabtu, 14 Desember 2013

Aliran Ahlussunnah, Qadariyah, dan Jabariyah



ALIRAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH, QADARIYAH DAN JABARIYAH
Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Teologi Islam











Dosen Pembimbing :
Drs. H. Bahruddin Al Barri, M.HI

Oleh:
Muhammad Rizqi Saputra
Muhammad Yunus
Elok Miftah Candra
Alif Zakiyatul Fikriyah

UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI
TEBUIRENG JOMBANG
2013
KATA PENGANTAR

   Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah mata kuliah TEOLOGI ISLAM.
   Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad shollallohu’alaihi wa sallam yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan Sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Teologi Islam pada Universitas Hasyim Asy’ari. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. H. Bahruddin Al Barri, M.HI selaku dosen pembimbing mata kuliah Teologi Islam dan kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini. Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Tebuireng, 27 Oktober 2013
Penulis




DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL................................................................................. I
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
BAB   I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ......................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah .................................................................... 2
C.     Tujuan....................................................................................... 2
BAB  II. PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ahlussunnah, Qadariyah, dan Jabariyah ................. 3
B.     Sejarah Timbulnya Aliran Ahlussunnah, Qadariyah, dan Jabariyah       5
C.     Tokoh dan Ajaran Ahlussunnah, Qadariyah, dan Jabariyah ..... 9
BAB III. PENUTUP
A.       Kesimpulan ............................................................................ 16
B.       Saran ...................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA 


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Perpecahan di dalam tubuh umat Islam adalah sesuatu yang tidak terhindarkan, tetapi yang perlu diingat adalah orang sering kali tidak tahu sebab-sebab terjadinya perpecahan. Di kalangan umat Islam sekarang ini terkadang terjadi perpecahan dalam hal-hal yang sebenarnya tidak boleh terjadi. Kita sering berpendapat, bahwa menghindari perpecahan dan membendung bahayanya sebelum hal itu terjadi lebih baik daripada pengobatan setelah terjadi. Memang pendapat ini merupakan ijma’ yang disepakati. Namun sebaiknya kita mengerti bahwa menjaga dari perpecahan caranya adalah dengan jalan menghindari penyebabnya.
Perpecahan politik dan aliran pemikiran antara kaum muslimin terjadi karena perbedaan tentang masalah khilafah. Hal ini dimulai sejak wafatnya Ali bin Abi Thalib yang telah mengakibatkan barisan kaum muslimin terpecah menjadi 3 kelompok yakni Syiah (orang yang sangat fanatic dengan Ali bin Abi Thalib), Khawarij (orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib , dan Jumhur kaum muslimin (Ahlu Sunnah wal Jama’ah). Selain itu, persoalan tentang orang berbuat dosa kemudian yang mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya dalam Islam. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam yakni Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah.
Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran dalam teologi yang terkenal dengan nama Al-Qadariyah dan Al-Jabariyah. Menurut qadariyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya, dalam istilah Inggrisnya free will dan free act. Jabariyah, sebaliknya, berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Dalam artian segala manusia bertindak dengan paksaan dari Tuhan, menurut Jabariah.
Pembincangan mengenai perpecahan umat itu juga bermula dari hadis Nabi Muhammad SAW tentang terjadinya perpecahan di tengah umat ini, diantaranya adalah hadis iftiraq :
“Dari Abu Hurairah ia berkata : Rasulullah SAW telah bersabda : Kaum Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan atau 72 golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan.”
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang seluk beluk aliran Ahlussunnah wal Jama’ah, Qadariyah, dan Jabariyah.
B.       Rumusan Masalah
1.         Apakah pengertian dari Ahlus sunnah wal Jama’ah, Qodariayah, dan Jabariyah?
2.         Bagaimana latar belakang dan sejarah timbulnya aliran Ahlussunnah, Qodariyah, dan Jabariyah?
3.         Bagaimana ajaran masing-masing dari golongan Ahlu Sunnah wal jama’ah, Qadariyah, dan Jabariyah?

C.      Tujuan
1.         Untuk mengetahui pengertian dari Ahlussunnah wal Jama’ah, Qodariyah, dan Jabariyah.
2.         Untuk mengetahui latar belakang dan sejarah timbulnya aliran Ahlussunnah wal Jam’ah.
3.         Untuk mengetahui ajaran-ajaran aliran Ahlussunnah wal Jama’ah, Qadariyah, dan Jabariyah.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah, Qadariyah, dan Jabariyah
1.         Pengertian Ahlussunah wal Jama’ah
a)        Secara bahasa
Ahlun                  : Keluarga, golongan atau pengikut
Ahlussunnah     : orang-orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal perbuatan Nabi Muhammad SAW)
Wal Jama’ah     : Mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam pengikut sunnah Rasul
Dengan demikian secara bahasa/aswaja berarti orang-orang atau mayoritas para ‘Ulama atau umat Islam yang mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau para Ulama’.
b)        Secara Istilah
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah golongan umat Islam yang dalam bidang Tauhid menganut pemikiran Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi, sedangkan dalam bidang ilmu fiqh menganut Imam Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali) serta dalam bidang Tasawwuf menganut pada Imam Al Ghazali dan Imam Junaidi al Baghdadi.
Ungkapan Ahlussunnah (sering juga disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syi'ah. Dalam pengertian ini, Mu'tazilah-sebagaimana juga Asy'ariyah- masuk dalam barisan Sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah madzhab yang berada dalam barisan Asy'ariyah dan merupakan lawan Mu'tazilah.


2.         Qadariyah
Nama Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan.
Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya. Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Dalam istilah Inggrisnya faham ini dikenal dengan nama free will dan free act.
Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak.  Menurut Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk Hadis yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah. Hadis itu berbunyi :
القدرية مجوس هذه الأمة
Artinya : "Kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini."
3.         Jabariyah
Menurut Harun Nasution, Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah Inggris paham ini disebut fatalism atau predestination yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
Al-Syahrastani menegaskan istilah al-jabru diartikan menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Berdasarkan pengertian ini, Jabariyah ada 2 bentuk :
a.         Jabariyah murni, menolak adanya perbuatan berasal dari manusia dan memandang manusia tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat.
b.        Jabariyah moderat, mengakui adanya perbuatan dari manusia namun perbuatan manusia tidak membatasi.
Kalau dikatakan, Allah mempunyai sifat al-Jabbar (bentuk mubalaghah) artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al-insan majbur (bentuk isim maful) artinya manusia dipaksa atau terpaksa. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya dalam artian manuisa mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabbariyah (dengan menambah ya’ nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme).
B.       Sejarah Timbulnya Aliran Ahlussunnah, Qadariyah, dan Jabariyah
1.         Ahlussunnah wal Jama’ah
Menurut Harun Nasution, term ahli Sunnah dan Jama’ah ini kelihatannya timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan Mu’tazilah dan terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran-ajaran itu. Mulai dari Wasil, usaha-usaha telah dijalankan untuk menyebarkan ajaran-ajaran itu, disamping usaha-usaha yang dijalankan dalam menentang serangan musuh-musuh Islam. Sedangkan menurut Ibn al-Murtada, Wasil mengirim murid-muridnya ke Khurasan, Armenia, Yaman, Marokko, dan lain-lain. (Nasution,2012: 62)
Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke-3 H timbullah golongan yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipimpin oleh dua ulama’ besar dalam Ushuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali Al Asy’ari dan Syeikh Abu mansur Al Maturidi. Terkadang Ahlussunnah wal Jama’ah disebut sebagai Ahlussunnah saja, atau Sunni saja, kadang juga disebut sebagai Asyariyah.
Di dalam faham Ahlussunnah wal Jama’ah terlahir dua aliran yakni Asy’ariyah dan Maturidiyah. Dahulu Asy’ari adalah seorang Mu’tazilly. Namun, terdorong oleh keinginan mempertahankan sunnah maka lahirlah ajaran mereka hingga kemudian keduanya diberi gelar imam ahlussunnah wal jama’ah.
1.        Aliran Qadariyah
Dalam Islam, munculnya faham Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa ahli teologi Islam yang menghubungkan faham Qadariyah dengan kaum Khawarij. Pemahaman mereka (kaum khawarij) tentang konsep iman pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan kesadaran bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya sendiri. Menurut Ahmad Amin seperti dikutip Abuddin Nata, berpendapat bahwa faham Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al’Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Sementara itu Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, member informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak yang dimaksud sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai adalah Susan.
Ahli teologi menerangkan bahwa Ma’bad Al-Juhani : seorang Tabi’i yang baik dan temannya Ghailan Al-Dimasyqi yang mana keduanya memperoleh paham tersebut dari orang Kristen yang masuk Islam di Irak. Beliau adalah seorang ahli hadits dan tafsir Al-Quran, tetapi kemudian dianggap sesat dan membuat pendapat-pendapat yang salah serta batal. Setelah itu, ia dibunuh oleh Abdul Malik bin Marwan pada tahun 80 H. Dia juga pernah berguru pada Hasan al-Bashri.
Dalam pada itu Ghailan sendiri terus menyiarkan faham qadariah-nya di Damaskus, tetapi mendapat tantangan dari khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz. Setelah Umar wafat, ia meneruskan kegiatannya yang lama, sehingga akhirnya akhirnya ia mati dihukum bunuh oleh Hisyam ‘Abd al-Malik (724-743 M). Sebelum dijatuhi hukum bunuh diadakan perdebatan antara Ghailan dan al-Awza’i yang dihadiri Hisyam sendiri.
Sejarah timbulnya faham atau aliran Qadariyah ini tentu saja tidak bisa lepas dari pembahasan tentang faham Jabariyah, sebagai realitas yang masih terus mewarnai kehidupan manusia dalam bidang teologi, yang secara pasti sulit ditentukan kapan faham-faham tersebut lahir. Akan tetapi pada permulaan dinasti Bani Umayyah, setelah Islam dianut oleh berbagai bangsa, maka faham-faham Jabariyah dan Qadariyah telah menjadi bahan pemikiran di antara mereka, dan dari situlah mulai muncul pembicaraan mengenai aliran-aliran tersebut.
Berkaitan dengan awal kemunculan Qadariyah, para peneliti di bidang teologi berbeda pendapat. Karena penganut Qadariyah sangat banyak. Diantaranya di Irak dengan bukti gerakan ini terjadi pada pengajian Hasal Al-bashri.
2.        Aliran Jabariyah
Benih pemikiran Jabariyah sebenarnya sudah ada pada beberapa orang sahabat sejak masa Nabi SAW masih hidup. Diceritakan bahwa pada suatu hari Nabi SAW menjumpai para sahabatnya yang sedang membicarakan masalah qadar. Nabipun marah seraya menyatakan : Untuk inikah kalian diperintahkan? Umat sebelum kamu binasa karena mereka berbuat seperti kamu ini, saling mempertentangkan ayat yang satu dengan yang lain. Perhatikan apa yang diperintahkan kepadamu, lalu kerjakanlah, dan apa yang dilarang atas kamu jauhilah.
Nabi sendiri sudah pernah menyatakan bahwa di antara umatnya akan ada orang-orang yang berpaham semacam Jabariyah atau Qadariyah. Dikisahkan bahwa pada suatu hari ada seorang laki-laki dari Persi datang kepada Nabi SAW lalu berkata : Aku lihat orang Persi menikah dengan anak-anak perempuan dan saudara-saudara perempuan mereka. Kalau mereka ditanya mengapa berbuat demikian? Mereka menjawab : Demikianlah qadla dan qadar Allah. Lalu Nabi bersabda : Di antara umatku akan ada orang-orang yang berkata demikian dan mereka itulah orang-orang Majusi dari umatku.
Khalifah Umar bin Khattab pernah menangkap orang yang tertangkap mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata,”Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hkuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
Khalifah Ali bin Abi Thalib sesuai perang Shiffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya,”Bila perjalanan (menuju perang Shiffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tak ada pahala sebagai balasannya.” Ali menjelaskan bahwa qadha dan qadar itu merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa awal munculnya faham atau aliran Jabariyah adalah sejak awal periode Islam. Namun al Jabar sebagai suatu pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayah.
Faham Jabariyah secara nyata menjadi aliran yang disebarkan kepada orang lain pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Yang dianggap sebagai pendiri utama adalah Al-Ja’ad bin Dirham.
C.      Tokoh dan Ajaran Ahlussunnah, Jabariyah dan Qadariyah
1.         Tokoh dan Ajaran Ahlussunnah
a)        Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari dan Maturidiah
Menurut Abdul Rozak,dkk dalam bukunya yang berjudul Ilmu Kalam, membahas tentang doktrin al-Asy’ari yang terpenting sebagai berikut :
1.      Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, terdapat persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian menurut keduanya berbeda. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama), dzat tanpa terpisah. Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus ad-dzat wa la hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawanya pada pengertian anthropomorphisme karena sifat tidak berwujud sendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada berbilangnya yang qadim. Tampaknya Al-Maturidi lebih cenderung kepada paham Mu’tazilah.
2.      Kebebasan dalam berkehendak (Free-Will)
Ditinjau dari dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham radeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Menurut Al-Asy’ari, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allahlah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia). Sedangkan menurut Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiyar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya.
3.      Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Ada perbedaan pendapat dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mengutamakan akal. Dalam hal ini, Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari. Namun, porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ari. Begitu juga, dalam penentuan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berlandaskan pada wahyu, sedangkan Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan buruk. Namun, terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.
4.      Qadimnya Alquran
Dalam hal ini, Mu’tazilah berpendapat bahwa Alquran diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan madzhab Hanbali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa Alquran adalah kalam Allah, (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Alquran adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, A-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Alquran terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.
5.      Melihat Allah
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya. Sedangkan Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh Alquran, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23. Bahkan Al-Maturidi mengatakan bahwa kelak Tuhan dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun Ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
6.      Keadilan
Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak.
7.      Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari mengatakan bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr. Sedangkan Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat syirik.
2.         Tokoh dan Ajaran Qadariyah
a)        Ajaran Ma’bad al-Juhani
Perbuatan manusia diciptakan atas kehendaknya sendiri. Oleh karena itu ia bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Tuhan tidak ikut berperan serta dalam perbuatan manusia, bahkan Tuhan tidak tahu sebelumnya apa yang akan dilakukan oleh manusia, kecuali setelah perbuatan itu dilakukan, barulah Tuhan mengetahuinya.
b)       Ajaran Ghailan al-Dimasqi
1.        Manusia menentukan perbuatannya dengan kemauannya dan mampu berbuat baik dan buruk tanpa campur tangan Tuhan. Iman adalah mengetahui dan mengakui Allah dan Rasul-Nya sedangkan amal perbuatan tidak mempengaruhi iman.
2.        Al-Qur’an itu makhluk.
3.        Allah tidak memiliki sifat.
4.        Iman adalah hak semua orang bukan dominasi Quraisy, asal cakap berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-Sunnah.
Pokok-pokok ajaran Qadariyah menurut Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam adalah :
1.        Orang yang berbuat dosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin, tapi fasiq dan masuk neraka.
2.        Allah SWT tidak menciptakan amal perbuatan manusia. Manusia sendirilah dan jika amalna jelek akan masuk neraka. Oleh karena itu, maka Allah berhak disebut adil.
3.        Akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab segala sesuatu ada memiliki sifat yang menyebabkannya baik atau buruk.

3.         Tokoh dan Ajaran Jabariyah
Setelah mengulas tentang sejarah timbulnya faham Jabariyah di atas, seyogyanya kita harus mengetahui dan mengenal para tokoh dan ajaran-ajaran yang diyakini dalam faham ini. Dibawah ini adalah beberapa pendapat dan ajaran tokoh Jabariyah murni.
a)        Jahmn bin Safwan dan Ja’ad bin Dirham
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Safwan. Ia sebagai penganut paham Jabariyah murni berhasil menyebarkan ajarannya ke Tirmidzi di Balk. Sedangkan Ja’ad bin Dirham adalah seorang maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Doktrin Ja’ad secara umum sama dengan pendapat Jahm. Berikut ini beberapa pendapatnya:
1.        Sifat dan Dzat Allah
Allah adalah Dzat saja karena bukan syai’ (sesuatu), maka Allah tidak akan memiliki sifat yang dimiliki oleh manusia misalnya ‘alim, murid, maujud, hayyun, namun boleh disifati qadir, fa’il, khaliq, mujid, muhyi, mumit. Tujuannya disini adalah menjauhkan Tuhan dari segala penyerupaan dengan makhluknya.
2.        Melihat Allah
Jahmn menolak pendapat bahwa Allah kelak di hari Kiamat Allah dapat dilihat, karena Allah tidak mempunyai sifat maujud. Dan sesuatu yang tidak maujud itu tidak dapat dilihat. Berbeda dengan pendapat Ahli Sunnah wal Jama’ah yaitu kelak di hari kiamat Allah dapat dilihat, sebagaimana Al-Qur’an surat Qiyamah ayat 22-23 :
وجوه يومئذ ناضرة . إلى ربّها ناظرة.
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.
Menurut Adh-Dhirar (tokoh paham Jabariyah moderat), Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indra keenam. Sedangkan menurut An-Najjar (penganuh Jabariyah moderat), Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia bisa melihat Tuhan.
3.        Kehendak dan kemerdekaan manusia
Paham Jabariyah mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak ataupun kemerdekaan, semua perbuatan yang dilakukannya terpaksa. Keterpaksaan dikategorikan dalam 2 macam :
a.         Manusia tidak memiliki kehendak, pilihan, dan kemampuan sama sekali.
b.         Manusia masih memiliki andil dalam pekerjaan yang ia lakukan, sehingga ia tidak terpaksa sepenuhnya.
Sedangkan Jaham menganut paham yang pertama :
هو مجبور فى أفعاله, لا قدرة له, ولاارادة, ولا اختيار
4.        Kehancuran surga dan neraka
Menurut Jahm manusia akan kekal, baik di dalam surga maupun neraka. Penghuni surga menikmati kelezatan surga dan penghuni neraka merasakan kepedihan siksa.
5.        Iman
Menurut pendapat jumhur ulama’, ketetapan hati yang diucapkan dengan lisan. Dengan demikian, ucapan lisan menjadi syarat seorang menjadi muslim atau kafir. Berbeda dengan pendapat Jahm bahwa orang tidak menjadi kafir hanya karena mengutarakan dengan lisan asalkan sudah ma’rifat.
6.        Akal sebagai ukuran baik dan buruk
Akal manusia mampu membedakan antara yang baik dan buruk, meskipun tidak ada wahyu, boleh jadi pendapat ini kemudian diambli oleh pendapat Mu’tazilah.



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah disajikan oleh penulis di atas, dapat disimpulkan bahwa golongan Ahlussunnah wal Jama’ah atau terkadang dikenal dengan istilah Sunni adalah golongan mayoritas umat Islam yang berpegang pada Sunnah Nabi Muhammad SAW. Aliran atau faham ini dipelopori oleh Abu Hasan Al-Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur Al-Maturidi yang kemudian fahamnya disebut Asy’ariyah dan Maturidiah. Faham ini muncul pada akhir abad ke-3 H sebagai reaksi terhadap paham-paham Mu’tazilah. Salah satu doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu tentang kebebasan dalam berkehendak. Menurut Al-Asy’ari, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allahlah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia). Sedangkan menurut Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiyar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya.
1.         Adapun golongan Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya. Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Golongan ini dipelopori oleh Ma’bad Al Juhani dan Ghailan Al Dimasqi. Salah satu doktrin faham Qadariyah yaitu orang yang berbuat dosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin, tapi fasiq dan masuk neraka.
Sedangkan golongan Jabariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala perbuatan manusia berasal dari Allah. Faham ini berpendapat bahwa manusia hanya menjadi wayang yang digerakkan oleh dalangnya. Awal munculnya faham atau aliran Jabariyah adalah sejak awal periode Islam. Namun al Jabar sebagai suatu pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayah. Dan salah satu doktrin faham ini adalah manusia tidak memiliki kehendak, pilihan, dan kemampuan sendiri.
B.       Saran
Makalah ini diharapkan dapat memberi sumbangan dalam rangka memperluas wawasan mengenai firqah-firqah dalam Islam khususnya golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, Qadariyah dan Jabariyah. Semoga dengan adanya makalah ini, pembaca dapat memahami hakikat ketiga golongan tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
El-fatihkamil. 2012. (http://elfatihkamil.blogspot.com/2012/06/hadis-terpecahnya-umat-islam-menjadi-73.html diakses pada tanggal 17 Oktober 2013 pada pukul 10.07 WIB).
Sejarah Ahlussunnah Wal Jama’ah (http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/10/sejarah-ahlussunnah-wal-jamaah.html diakses pada tanggal 18 Oktober 2013)
Nasution, Harun. 2012. TEOLOGI ISLAM. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. 2012. ILMU KALAM. Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press.
Rozak, A., Anwar, R. 2000. Ilmu KALAM :untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung : CV. Pustaka Setia.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar